27 Mei 2012

Makalah Rational Emotion Behavior Therapiy

MAKALAH BIMBINGAN DAN KONSELING
  Rational Emotion Behavior Therapiy
DI
S
U
S
U
N

Oleh:
                                               Al-Fatih Bau Makkulau


Jurusan Pendidikan Biologi
Fakultas Tarbiyah & Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
2012



KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita  hidayah dan rahmat-Nya agar senantiasa dekat dengan diri-Nya dalam keadaan yang bagaimana pun juah. Salam serta shalawat kita hanturkan kepada Nabiullah  SWT yang menghantarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang dan telah menjadi suri tauladan bagi umat-Nya.
            Dalam makalah ini penulis akan membahas masalah mengenai “ REBT (Rational Emotive Behavior Terapy)“. 
Penulis sangat mengharapkan agar pembaca dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Saran serta kritik   penulis sangat harapkan dari pembaca agar pada penulisan makalah berikutnya menjadi lebih baik lagi. Seperti kata pepatah tak ada gading yang sempurnah, begitu  juga dengan manusia sendiri.


                                                                                          Samata Gowa, Maret  2012
                                                                   PENULIS







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istilah Rational-Emotive Behavior Therapy sukar diganti dengan istilah bahasa indonesia yang mengena: Paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan: Corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berfikir dan akal sehat (Rational Thingking), Berperasaan (emotion), dan berperilaku (acting), Serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berfikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah pendekatan behavior kognitif yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku dan pikiran. pendekatan  Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) di kembangkan oleh Albert Ellis melalui beberapa tahapan. pandanagan dasar pendekatan ini tentang manusia adalah bahwa individu memiliki tendensi untuk berpikir irasional yang salah satunya didapat melalui belajar social. Di samping itu, individu juga memiliki kapasitas untuk belajar kembali untuk berpikir rasional. pendekatan ini bertujuan untuk mengajak individu mengubah pikiran-pikiran irasionalnya ke pikiran yang rasional melalui teori ABCDE.
Penulis memilih  REBT yang dikembangkan oleh Albert Ellis ini sebagai bahan pembahasan berdasarkan pemikiran bahwa REBT bisa menantang para mahasiswa untuk berfikir tentang sejumlah masalah dasar yang mendasari konseling. REBT terpisah secara radikal dari beberapa sistem lain yang disajikan didalam makalah ini, yakni pendekatan-pendekatan psiko analitik, eksistensial-humanistik, client centered dan gestal. REBT lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi kognitif-tinngkah laku-tindakan dalam arti menitik beratkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak. REBT sangat didaktif dan sangat direktif serta lebih banyak  berurusan dengan dimensi-dimensi fikiran dari pada dengan dimensi-dimensi perasaan.
Dengan mengingat hal itu, kami dari penulis ingin mengupas teori REBT lebih mendalam. Namun kami tetap memahami bahwa dalam penulisan ini banyak mempunyai kekurangan, oleh karenanya kami tetap mengharap kritik dan saran dari semua pihak.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mendiskripsikan konsep dasar dalam REBT?
2.      Menjelaskan pandangan dan cara berfikir dalam REBT?
3.      Bagaimana tingkah asumsi laku bermasalah dalam REBT?
4.      Bagaimana corak konseling RET?





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Dasar
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.
Perkembangan kepribadian dimulai dari bahwasanya manusia tercipta dengan:
1.      Dorongan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri.
2.      Kemampuan untuk self-destruktive, hedonis buta dan menolak aktualisasi diri.[1]
Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.[2]
a.       Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
b.      Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
c.        Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Selain itu, Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus me­lawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psi­kologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.[3]

B.     Proses Berfikir.
Menurut pandangan REBT individu memiliki tiga tingkatan berfikir yaitu berfikir tentang apa yang terjadi berdasarkan fakta dan bukti-bukti, mengadakan penilaian terhadap fakta dan bukti, dan keyakinan terhadap proses bukti-bukti dan evaluasi (Froggatt, 2005). Ellis berpendapat bahwa yang menjadi sumber terjadinya masalah-masalah emosional adalah evaluative belief yang dikenal dengan istilah REBT adalah Irasional bilief yang dapat dikategorikan menjadi empat yaitu:
1.      Demamds (Tuntutan) adalah tuntutan atau Ekspekstasi yang tidak realitas dan absolute terhadap kejadian atau individu yang dapat dikenal dengan kata-kata seperti harus, sebaiknya dan lebih baik.
2.      Awfulishing adalah cara melebih-lebihkan konsekuensi negative dari suatu situasi sampai pada level yang ekstrim sehingga kejadian yang tidak menguntungkan menjadi kejadian yang sangat menyakitkan.
3.      Low Frustation Tolerance (LFT) adalah kelanjuta dari tuntutan yang selalu berada dalam kondisi nyaman dan merefleksikan ketidak toleransian terhadao ketidak nyamanan.
4.      Global Evaluations of human worth, yaitu menilai keberhargaan diri sendiri dan orang lain. Hal ini bernakma bahwa individu dapat diberi peringkat yang berimplikasi bahwa pada asumsi bebera orang lebih buruk atau tidak berharga dari yang lain (Wallen, 1992).
Selanjutnya, Ellis membagi fikiran individu dalam tiga tingkatan. yaitu:
a.       Dingin (Cool), Pikiran dingin adalah pikiran yang bersifat deskriptif sendiri dan mengandung sedikit emosi.
b.      Pikiran yang hangat (Warm), adalah pikiran yang mengarah pada satu preferensi atau keyakinan rasional, pikiran ini mengandung unsure evaluasi yang mempengaruhi pembentukan perasaan.
c.        Pikiran yang mengandung unsur evaluasi yang tinggi dan penuh dengan perasaan
(Nelson-Jones, 1995).

C.    Tingkah Asumsi Laku Bermasalah
Dalam gantina dkk, Nelson Jones, 1995 mengatakan manusia dipandang memiliki tiga tujuan fundamental, yaitu: Untuk bertahan hidup, untuk bebas dari kesakitan, dan untuk mencapai kepuasan. Rasional Emotive behaviore Therapy (REBT) juga berpendapat bahwa individu adalah hidonistik yaitu kesenangan dan bertahan hidup adalah tujuan pertama hidup. Hedonisme dapat diartikan sebagai pencarian kenikmatan dan menghindari kesakitan. Bentuk hedonisme khusus yang membutuhkan perhatian adalah penghindaran terhadap kesakitan dan ketidaknyamanan. Dalam Gantina dkk, Wallen mengatakan Dalam REBT hal ini menghasilkan low frustration tolerance (LFT). Individu yang memiliki LFT terrlihat dari pernyataan-pernyataannya verbal seperti: Ini terlalu berat, saya pasti tidak mampu, ini menakutkan, saya tidak bisa menjalani ini.
            Dalam Gantina dkk, Gladding, 1992 mengatakan Ellis mengidentifikasi sebelah keyakinan irasional individu yang dapat mengakibatkan masalah yaitu:
1.      Dicintai dan setujui oleh orang lain adalah sesuatu yang sangat esensial
2.       untuk menjadi orang yang berharga individu harus kompeten dan mencapai setiap usahanya.
3.       Orang yang tidak bermoral, criminal dan nakal merupakan pihak yang harus disalahkan.
4.      hal yang sangat buruk dan menyebalkan adalah bila sebagala sesuatu tidak terjadi seperti yang saya harapkan.
5.      ketidak bahagiaan merupakan hasil dari pristiwa eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh diri sendiri.
6.      sesuatu yang membahayakan harus menjadi perhatian dan harus selalu diingat dalam fikiran.
7.      lari dari kesulitan dan tanggung jawab dari pada menghadapinya.
8.      seseoramg harus memiliki orang lain sebagai tempat bergantung dan harus memiliki seseorang yang lebih kuat yang dapat menjadi tempat bersandar.
9.       masa lalu menentukan tingkah laku saat ini dan tidak bisa diubah.
10.  individu bertanggaung jawab atas masalah dan kesulitan yang dialami oleh orang lain.
11.  selalu ada jawaban yang benar untuk setiap masaslah. Dengan demikian, kegagalan mendapatkan jawaban yang benar merupakan bencana.[4]
Sebagai contoh, “orang depresi merasa sedih dan ke­sepian karena dia keliru berpikir bahwa dirinya tidak pantas dan merasa tersingkir”. Padahal, penampilan orang depresi sama saja dengan orang yang tidak mengalami depresi. Jadi, Tugas seorang terapis bukanlah menyerang perasaan sedih dan kesepian yang dialami orang depresi, melainkan me­nyerang keyakinan mereka yang negatif terhadap diri sendiri.
Walaupun tidak terlalu penting bagi seorang terapis mengetahui titik utama keyakinan-keyakinan irasional tadi, namun dia harus mengerti bahwa keyakinan tersebut adalah hasil “pengondisian filosofis”, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang muncul secara otomatis, persis seperti kebiasaan kita yang langsung mengangkat dan menjawab telepon setelah mendengarnya berdering.
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah, didalamnya merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.
Adapun ciri-ciri berpikir irasional adalah :
a.       Tidak dapat dibuktikan
b.      Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu
c.       Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional disebabkan oleh:
1)      Individu tidak berpikir jelas tentang saat ini dan yang akan datang, antara kenyatan dan imajinasi
2)      Individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain
3)      Orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator sebab keyakinan irasional adalah:
a)      Manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan
b)      Banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum
c)      Kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya
d)     Lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk menghadapi dan menanganinya
e)      Penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut
f)       Pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang
g)      Untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural\
h)      Nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
Menurut Albert Ellis juga menambahkan bahwa secara biologis manusia memang “diprogram” untuk selalu menanggapi “pengondisian-pengondisian” semacam ini. Keyakinan-keyakinan irasional tadi biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan absolut. Ada beberapa jenis “pikiran­-pikiran yang keliru” yang biasanya diterapkan orang, di antaranya:
1.      Mengabaikan hal-hal yang positif,
2.      Terpaku pada yang negatif,
3.      Terlalu cepat menggeneralisasi.

Secara ringkas, Ellis mengatakan bahwa ada tiga ke­yakinan irasional:
1.      “Saya harus punya kemampuan sempurna, atau saya akan jadi orang yang tidak berguna”
2.      “Orang lain harus memahami dan mempertimbang­kan saya, atau mereka akan menderita”
3.      Kenyataan harus memberi kebahagiaan pada saya, atau saya akan binasa”.

D.    Teknik Konseling
Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:
Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
a. Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
b. Bermain peran            
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
c. Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
E.     Corak Konseling REBT
                  Corak konseling RET berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi bersifat psikologis, yaitu:
1.      Manusia adalah makhluk yang manusiawi, artinya dia bukan superman dan juga bukan makhluk yang kurang dari seorang manusia. Manusia memunyai kekurangan dan keterbatasan, yang dapat mereka atasi sampai taraf tertentu. Selama manusia hidup di dunia ini, dia harus berusaha untuk menikmatinya sebaik mungkin.
2.      Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bekal keturunan atau pembawaan, tetapi sekaligus juga tergantung dari pilihan-pilihan yang dibuat sendiri. Nilai-nilai kehidupan (values) untuk sebagian ditentukan baginya, namun untuk sebagian juga dibentuk sendiri serta dikejar sendiri. Salah satu nilai kehidupan adalah kebahagiaan, yang dapat dipilih atau tidak dipilih sendiri sebagai tujuan utama yang pantas dikejar. Tujuan utama ini terwujud dalam berbagai bidang kehidupan, seperti merasa bahagia dengan dirinya sendiri, merasa bahagia dalam berinteraksi dengan orang lain, merasa bahagia dalam kemandirian ekonomis, dan merasa bahagia dalam menikmati berbagai kegiatan rekreaktif.
3.      Hidup secara rasional berarti berfikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa sehingga kebahagiaan hidup dapat dicapai secara efisien dan efektif. Bilamana orang berfikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga segala tujuan yang dikejar tidak tercapai, mereka ini hidup secara tidak rasional. Dengan demikian, berfikir rasional menunjuk pada akal sehat, sehingga sungguh-sungguh membantu mencapai kebahagiaan di hidup ini. Orang yang tidak mencapai kebahagiaan itu harus mempersalahkan dirinya sendiri karena tidak menggunakan akal sehatnya secara semestinya; tidak pantaslah mereka lalu mempersalahkan orang lain atau nasib hidup malang sebagai biang keladi ketidakbahagiaan mereka.
4.      Menusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara rasional dan sekaligus untuk hidup secara tidak rasional. Dia dapat berfikir dengan akal sehat, tetapi juga dapat berfikir salah dan demikian menimbulkan kesukaran bagi dirinya sendiri. Kesukaran ini menggejala dalam alam perasaannya dan dalam caranya bertindak, tetapi pada dasarnya bersumber pada berfikir yang keliru atau berfikir yang disebut berfikir yang tidak rasional (irrasional thinking, illogical thinking).
5.      Orang kerap berpegang pada setumpuk keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal atau irrasional (irrasional biliefs), yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau diciptakan sendiri. Mungkin juga keyakinan-keyakinan itu merupakan gabungan dari pengaruh lingkungan social dan gagasannya sendiri. Tumpukan keyakinan irrasional cenderung untuk bertahan lama, bahkan orang cenderung memperkuatnya sendiri dengan berbagai dalih.
6.      Pikiran-pikiran manusia biasanya menggunakan berbagai lambang verbal dan dituangkan dalam bentuk bahasa. Bila berfikir, manusia seolah-olah mengucapkan kata-kata kepada diri sendiri. Orang memertahankan pikiran yang rasional atau yang tidak rasional dengan berbicara kepada diri sendiri dan mengucapkan dalam batinnya sendiri uraian kalimat tertentu, seperti yang dirumuskan dalam butir (5).
7.      Bilamana seorang merasa tidak bahagia dan mengalami berbagai gejolak perasaan yang tidak menyenangkan serta membunuh semangat hidup, rasa-rasa itu bukan berpangkal pada rentetan kejadian dan pengalaman kemalangan yang telah berlangsung (activating event; activating experience), melainkan pada tanggapannya yang tidak rasional terhadap kejadian dan pengalaman itu (irrational beliefs). Tanggapan kognitif yang tidak masuk akal itu biasanya terdiri atas beraneka tuntutan mutlak, perintah keras kepada diri sendiri dan berbagai keharusan. Perasaan negative yang muncul sebagai akibat dari pikiran irrasional itu, dipandang sebagai suatu reaksi perasaan yang tidak wajar (inappropriate emotions), yang biasanya terdiri atas rasa depresif, rasa cemas dan gelisah yang mendalam, rasa putus asa, rasa bermusuhan, dan rasa tak punya harga diri. Perasaan yang demikian akan dapat menghambat orang dalam mengahadapi tantangan/bantingan hidup dan membunuh semangat berusaha, bahkan sering membuat keadaan orang lebih buruk. Sebaliknyalah tanggapan rasional (rational belief) disertai suatu reaksi perasaan yang wajar (appropriate feelings). Tanggapan yang masuk akal biasanya terdiri atas berbagai keinginan, aneka harapan, dan bermacam preferesi, sedangkan reaksi perasaan yang wajar meliputi perasaan positif seperti rasa cinta, rasa bahagia, rasa tenteram, dan rasa puas; serta perasaan negative seperti rasa sedih, rasa kesal, rasa kecewa, rasa bosan, rasa tidak suka, dan rasa marah. Semua reaksi perasaan itu, baik yang positif maupun yang neagtif, disebut wajar karena menimbulkan semangat untuk berusaha mengubah hal-hal yang tidak diinginkan dan mengganggu kebahagiaan hidup.
8.      Untuk membant orang mencapai taraf kebahagiaan hidup yang lebih baik dengan hidup secara lebih rasional, RET memfokuskan perhatiannya pada perubahan pikiran irasional menjadi rasional. Maka pada dasarnya, konselor yang menerapkan corak konseling ini mengusahakan rehabilitasi kognitif (cognitive restructuring). Untuk itu, tidak perlu konselor menggali seluruh sejarah kehidupan konseli, bahkan juga tidak mengorek keseluruhan asal-usul permasalahan yang dihadapi sekarang dengan membongkar masa lampau.
9.      Mengubah diri dalam berfikir irrasional bukan perkara yang mudah, karena orang memiliki kecenderungan untuk memertahankan keyakinan-keyakinan yang sebenarnya tidak masuk akal, ditambah dengan perasaan cemas tentang ketidakmampuannya mengubah tingkah lakunya dan akan kehilangan berbagai keuntungan yang diperoleh dari perilakunya. Misalnya, seorang mahasiswa yang mengeluh kemana-mana bahwa dia selalu gugup dalam menempuh ujian, mungkin saja memertahankan keluhannya dengan meyakinkan diri terus menerus bahwa “Aku memang paling bodoh di antara teman-teman; seharusnya aku pandai”. Hal demikian harus mendapatkan motivasi dari orang-orang yang ada di sekitarnya untuk menghilangkan perasaan cemas tersebut. Meskipun perubahan pada diri sendiri tidak mudah, patut diusahakan dengan menyerang kekacauannya dalam berfikir dan melatih diri untuk mewujudkan landasan pikiran yang lebih sehat dalam tingkah laku yang konkrit.
10.  Konselor RET harus berusaha membantu orang menaruh perhatian wajar pada kebahagiaan batinnya sendiri, menerima tanggung jawab atas pengaturan hidupnya sendiri tanpa menuntut secara mutlak dukungan dari orang lain; memberikan hak kepada orang lain untuk berbuat salah tanpa menjatuhkan neraka atas mereka sebagai manusia; menerima kenyataan, bahwa banyak hal dalam kehidupannya tidak dapat diramalkan secara pasti; berfikir objektif tentang diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain; berani mengambil resiko yang wajar dan mencoba hal-hal yang baru; menerima diri sendiri dan merasa puas dengan diri sendiri sehingga dapat menikmati hidup; dan mengakui bahwa mustahillah tidak pernah mengalami rasa frustasi, rasa sedih, rasa kesal, dan sebagainya.
11.  Konselor harus membantu konseli mengbah pikirannya yang irasional dengan mendiskusikannya secara terbuka dan terus terang (Dispute). Dalam kaitan ini konselor mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang, mengajarkan tata cara berfikir yang lain, memperolok-olok pikiran yang bodoh, memberikan contoh-contoh tentang orang lain, menyuruh membayang-bayangkan, dan sebagaimana yang ternyata efektif bagi konseli tertentu.
12.  Diskusi itu akan menghasilkan efek-efek (effects), yaitu pikiran-pikiran yang lebih rasional (cognitive effects), perasaan-perasaan yang lebih wajar (emotional effects), dan berperilaku yang lebih tepat dan lebih sesuai (behavioral effects). Misalnya, mahasiswa dalam butir (9) akan berfikir: “Siapa bilang, bahwa aku orang yang apling bodoh? Kegagalan sampai sekarang tidak berarti studiku sudah hancur! Aku tidak perlu mencapai taraf prestasi segemilang beberapa teman. Aku dapat mencapai hasil sesuai dengan kamampuanku, asal aku berusaha dengan sungguh-sungguh!”
Dalam melayani konseli, konselor berpegang pada urutan A-B-C-D-E. A adalah kejadian atau pengalaman teretntu (Activating Event; Activating Experience), yang ditanggapi oleh subjek dalam bentuk suatu interpretasi terhadap A atau suatu keyakinan tentang B (Belief) yang dapat rasional atau irrasional. Reaksi emosional dan perilaku C (Consequences) merupakan akibat dari interpretasi atau keyakinan kognitif , yang dapat berupa reaksi perasaan yang wajar atau tidak wajar dan perilaku yang sesuai atau jelas tidak sesuai. Masalah klien timbul karena keyakinan-keyakinan yang irrasional, yang pada gilirannya menimbulkan reaksi perasaan yang tidak wajar dan tingkah laku yang salah suai. Dalam urutan A-B-C ini, A bukan sebab dari C, melainkan B terhadap A menjadi sebab timbulnya C. kalau B adalah irasional dan tidak masuk akal, akibatnya C akan tidak wajar dan salah suai; kalau B adalah rasional dan masuk akal, akibatnya C akan wajar dan sesuai. Maka, bila ternyata bahwa konseli berpegang pada B yang irrasional, konselor kemudian akan melangkah ke D (Dispute) untuk menumbuhkan efek-efek yang diharapkan pada akhir proses konseling, yaitu E (Effects). Dengan demikian terdapat rangkaian A-B-C-D-E. sebagai contoh:
A:  Seorang mahasiswa menerima surat dari seorang gadis, yang dianggapnya sebagai pacar, cintanya yang pertama. Surat itu berisikan pesan “hubungan kita sampai di sini saja”.
B: Mahasiswa menginterpretasikan kejadian ini sebagai malapetaka besar dan            berkata kepada diri sendiri: “Aku seharusnya mendapat tanggapan yang positif. Kamu seharusnya tidak menolak saya. Ini musibah paling besar bagiku. Rasa harga diriku diinjak-injak. Usahaku gagal total dank arena itu akulah pemuda yang brengsek! Apakah masih ada arti dalam hidupku? Kenapa masih memertahankan hidupku di dunia ini?”. Pikiran-pikiran semacam itu bercorak irasional dan tidak masuk akal.
       (Corak berfikir yang lain ialah: “Ini tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia memutuskan hubungan. Sebenarnya lebih baik dia memberikan penjelasan. Tetapi, buat, kelihatannya sudah mantap pada keputusannya”. Berpikir seperti itu ternyata lebih rasional).
C : Sebagai akibat dari pikiran irasional di atas, mahasiswa itu merasa putus asa serta depresif dan tidak bersemangat hidup lagi. Reaksi emosional ini menggejala dalam berbagai ungkapan ketegangan, misalnya sukar tidur, kehilangan nafsu makan, dan marah-marh pada teman-teman. Lalu dia tidak masuk kuliah 2 minggu dan mengirimkan surat kepada penasiht akademik untuk minta izin karena sakit.
      (Rasa emosional yang lain ialah ras kecewa, rasa frustasi, dan tidak suka akan perlakuan yang demikian. Dia kemudian mengirimkan surat kepada pemudi itu untuk minta penjelasan tentang hubungan akrab yang diputuskan. Namun, sementara itu dia tetap melakukan kewajibannya sebagai mahasiswa. Kalau begitu, mahasiswa tidak perlu menghadap konselor!).
D :Konselor menjelaskan kepada mahasiswa, bahwa perasaannya yang serba putus asa adalah akibat dari caranya menanggapi kejadian penerimaan surat putus hubungan; juga dijelaskan, bahwa aneka gejala gangguan perasaan adalah akibat dari pikirannya yang tidak masuk akal, dan bahwa pengiriman surat minta izin bukan cara penyelesaian masalah yang efektif. Kemudian konselor mulai menantang segala pikiran irasional pada B di atas, misalnya dengan bertanya: “Siapa bilang bahwa kamu seharusnya tidak ditolak? Apakah surat itu bermakna manjatuhkan Anda dalam lembah kenistaan? Apakah seorang pemuda yang tidak berhasil dalam cintanya yang pertama harus diangap sudah brengsek?”, dan sebagainya. Konselor jua menjelaskan, bahwa dia dapat mengambul pelajaran dari pengalaman ini, misalnya: “Lain kali jangan menaruh harapan dengan serba cepat. Kegagalan dalam cinta pertama membuat orang lebih matang dalam menghadapi hubungan percintaan dengan orang lain”, dan sebagainya.
E : Konseli berubah dalam caranya menganggapi A, misalnya pada butir B di atas, di antara tanda ( ). Reaksi dalam alam perasannya berubah juga dan dia mengambil tindakn lain, misalnya seperti pada butir C di atas, di antara tanda  ( ). 
Tentu saja proses konseling tidak mulai pada A, tetapi pada suatu saat setelah A-B-C telah terjadi dan mahasiswa itu menyadari dia tidak mampu menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan seorang konselor. Selama proses konseling A-B-C akan menjadi jelas dan konselor menangkap hubungan antara A-B-C. Kemudian konselor menjelaskan peranan dari B yang irasional dan mulai menantangnya untuk mencapai efek E. Namun, konselor biasanya tidak membiarkan konseli untuk mengutarakan kejadian atau pengalaman (A) dengan panjang lebar dan secara mendetail; hanya secukupnya supaya menjadi jelas terhadap hal apa diberikan tanggapan kognitif (B). Demikian pula, tidak dianggap berguna ungkapan perasaan seperti putus asa, depresif, tidak bersemangat, dan bermusuhan diperpanjang, karena yang jauh lebih penting adalah berbagai keyakinan irasional yang melandasi ungkapan perasaan itu. Konselor menunjukkan sikap penerimaan, pemahaman, dan penghargaan sejauh diperlukan untuk menciptakan suasana komunikasi antarpribadi tidak dianggap sebagai satu-satunya kondisi yang mencukupi bagi keberhasilan konseling, seperti pada Client Centered Counseling. Untuk melengkapi diskusi tentang rangkaian keyakinan irasional yang harus diubah, konselor sering memberikan suati tugas Pekerjaan Rumah (Homework), seperti melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya yang tidak masuk akal; membayangkan reaksi perasaan yang wajar untuk melawan yang tidak wajar (Rational Emotive Imagery); dan mengisi format yang disebut Rational Self Help Form yang diterbitkan oleh The Institute for Rational-Emotive Therapy di New York City.
RET menunjukkan baik kelebihan maupun kelemahan. Kelebihannya ialah tekanannya pada peranan berbagai tanggapan kognitif terhadap timbulnya suatu reaksi perasaan. Kelemahannya adalah kurangnya pengakuan terhadap perasaan nada dasar (stemming) sebagai suatu faktor yang sangat dominan dalam kehidupan manusia, yang tidak sebegitu mudah mengalami perubahan. Meskipun demikian, corak konseling ini sangat bermanfaat untuk diterapkan oleh konselor sekolah terhadap siswa remaja dan mahasiswa, yang mengalami reaksi-reaksi perasaan negative yang kuat dan agak mewarnai suasana hati, seperti rasa cemas, rasa gelisah, rasa putus asa, tidak bergairah, dan tidak bersemangat. Konselor menduga bahwa ungkapan perasaan itu berkaitan dengan suatu pengalaman hidup, yang diberi interpretasi negative berdasarkan cara berfikir yang kurang “sehat” dan/atau kurang masuk akal.
Suatu sistematika lain yang juga mengusahakan rehabilitas kognitif (cognitive restructuring) dikembangkan oleh Meichenbaum, yang terpusat pada pesan-pesan negative yang disampaikan oleh orang kepada diri sendiri dan cenderung melumpuhkan kreativitasnya serta menghambat dalam mengambil tindakan penyesuaian diri yang realitas. Menurut pandangan Meichenbaum orang mendengarkan diri sendiri dan berbicara kepada diri sendiri, yang bersama-sama menciptakan suatu dialog internal (internal dialogue) dan berkisar pada mendengarkan pesan negative dari diri sendiri dan menyampaikan pesan negative terhadap diri sendiri. Dialog internal yang berisikan penilaian negative terhadap diri sendiri akan membuat orang lain akan merasa gelisah dalam mengahadapi tantangan hidup dan kurang mampu mengambil tindakan penyesuaian diri yang tepat. Maka perlulah mengubah penilaian diri yang negative itu menjadi yang lebih positif sehingga keyakinan akan diri sendiri menguat dan kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi konkrit bertambah.
Siasat yang digunakan oleh konselor pada dasarnya sama dengan yang diterapkan dalam RET, yaitu mengkaji ulang pola berfikir yang bercorak negative dan menghasilkan tindakan penyesuaian diri yang kurang tepat. Hanyalah Albert Ellis lebih memerhatikan pikiran irasional yang dapat berisikan lebih luas daripada pikiran tentang diri sendiri, sedangkan Meichenbaum lebih menitikberatkan evaluasi diri yang bercorak negative. Namun, dalam praktek konseling di institusi pendidikan dapat dijumpai kasus corak berfikir negative terhadap diri sendiri yang sebenarnya bersifat irasional (tidak masuk akal sehat); dalam kasus seperti itu penerapan pendekatan RET mencakup pula rehabilitas kognitif terhadap corak berfikir tentang diri sendiri yang melumpuhkan semangat hidup.




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah pendekatan behavior kognitif yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku dan pikiran. pendekatan  Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) di kembangkan oleh Albert Ellis melalui beberapa tahapan. pandangan dasar pendekatan ini tentang manusia adalah bahwa individu memiliki tendensi untuk berpikir irasional yang salah satunya didapat melalui belajar social. Di samping itu, individu juga memiliki kapasitas untuk belajar kembali untuk berpikir rasional. pendekatan ini bertujuan untuk mengajak individu mengubah pikiran-pikiran irasionalnya ke pikiran yang rasional melalui teori ABCDE.

B.     Saran
Pemakalah menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah









DAFTAR PUSTAKA


Amirah Diniaty (2009),  Teori-Teori Konseling, Pekanbaru:  Daulat Riau.
Gantina komalasari, Dkk. (2011). Teori Teknik Konseling, Jakarta: Indeks.
Gerald Corey  (2009), Teori dan Praktek Konseling & Terapi, Bandung: Refika Aditama
Muhammad Surya (1994), Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, Bandung: Bhakti Winaya
Muhammad Surya (2003), Teori-Teori Konseling, Bandung: C.V Pustaka Bani Quraisy.
.Winkel, W. S. 1997. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Grasindo

Lainnya:
http://boharudin.blogspot.com/2011/04/rational-emotive-behavior-therapy.html diakes pada tanggal 6 Maret 2012














[1] Amirah Diniaty (2009), Teori-teori Konseling, Pekanbaru: Daulat Riau hal 67.
[2] Gerald Corey (2009), Teori dan Praktek Konseling & Terapi, Bandung: Refika Aditama hal. 242
[3]  Surya, Mohammad (1994). Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Konsep dan Teori). Bandung: Bhakti Winaya Hal: 161
[4] Dra. Gantina Komalasari, dkk (2011), Teori dan Teknik Konseling, Jakarta: Indeks hal. 204-205
KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita  hidayah dan rahmat-Nya agar senantiasa dekat dengan diri-Nya dalam keadaan yang bagaimana pun juah. Salam serta shalawat kita hanturkan kepada Nabiullah  SWT yang menghantarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang dan telah menjadi suri tauladan bagi umat-Nya.
            Dalam makalah ini penulis akan membahas masalah mengenai “ REBT (Rational Emotive Behavior Terapy)“. 
Penulis sangat mengharapkan agar pembaca dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Saran serta kritik   penulis sangat harapkan dari pembaca agar pada penulisan makalah berikutnya menjadi lebih baik lagi. Seperti kata pepatah tak ada gading yang sempurnah, begitu  juga dengan manusia sendiri.


                                                                                                                                    Samata Gowa, Maret  2012
                                                                    Kelompok IV







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istilah Rational-Emotive Behavior Therapy sukar diganti dengan istilah bahasa indonesia yang mengena: Paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan: Corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berfikir dan akal sehat (Rational Thingking), Berperasaan (emotion), dan berperilaku (acting), Serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berfikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah pendekatan behavior kognitif yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku dan pikiran. pendekatan  Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) di kembangkan oleh Albert Ellis melalui beberapa tahapan. pandanagan dasar pendekatan ini tentang manusia adalah bahwa individu memiliki tendensi untuk berpikir irasional yang salah satunya didapat melalui belajar social. Di samping itu, individu juga memiliki kapasitas untuk belajar kembali untuk berpikir rasional. pendekatan ini bertujuan untuk mengajak individu mengubah pikiran-pikiran irasionalnya ke pikiran yang rasional melalui teori ABCDE.
Penulis memilih  REBT yang dikembangkan oleh Albert Ellis ini sebagai bahan pembahasan berdasarkan pemikiran bahwa REBT bisa menantang para mahasiswa untuk berfikir tentang sejumlah masalah dasar yang mendasari konseling. REBT terpisah secara radikal dari beberapa sistem lain yang disajikan didalam makalah ini, yakni pendekatan-pendekatan psiko analitik, eksistensial-humanistik, client centered dan gestal. REBT lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi kognitif-tinngkah laku-tindakan dalam arti menitik beratkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak. REBT sangat didaktif dan sangat direktif serta lebih banyak  berurusan dengan dimensi-dimensi fikiran dari pada dengan dimensi-dimensi perasaan.
Dengan mengingat hal itu, kami dari penulis ingin mengupas teori REBT lebih mendalam. Namun kami tetap memahami bahwa dalam penulisan ini banyak mempunyai kekurangan, oleh karenanya kami tetap mengharap kritik dan saran dari semua pihak.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mendiskripsikan konsep dasar dalam REBT?
2.      Menjelaskan pandangan dan cara berfikir dalam REBT?
3.      Bagaimana tingkah asumsi laku bermasalah dalam REBT?
4.      Bagaimana corak konseling RET?





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Dasar
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.
Perkembangan kepribadian dimulai dari bahwasanya manusia tercipta dengan:
1.      Dorongan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri.
2.      Kemampuan untuk self-destruktive, hedonis buta dan menolak aktualisasi diri.[1]
Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.[2]
a.       Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
b.      Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
c.        Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Selain itu, Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus me­lawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psi­kologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.[3]

B.     Proses Berfikir.
Menurut pandangan REBT individu memiliki tiga tingkatan berfikir yaitu berfikir tentang apa yang terjadi berdasarkan fakta dan bukti-bukti, mengadakan penilaian terhadap fakta dan bukti, dan keyakinan terhadap proses bukti-bukti dan evaluasi (Froggatt, 2005). Ellis berpendapat bahwa yang menjadi sumber terjadinya masalah-masalah emosional adalah evaluative belief yang dikenal dengan istilah REBT adalah Irasional bilief yang dapat dikategorikan menjadi empat yaitu:
1.      Demamds (Tuntutan) adalah tuntutan atau Ekspekstasi yang tidak realitas dan absolute terhadap kejadian atau individu yang dapat dikenal dengan kata-kata seperti harus, sebaiknya dan lebih baik.
2.      Awfulishing adalah cara melebih-lebihkan konsekuensi negative dari suatu situasi sampai pada level yang ekstrim sehingga kejadian yang tidak menguntungkan menjadi kejadian yang sangat menyakitkan.
3.      Low Frustation Tolerance (LFT) adalah kelanjuta dari tuntutan yang selalu berada dalam kondisi nyaman dan merefleksikan ketidak toleransian terhadao ketidak nyamanan.
4.      Global Evaluations of human worth, yaitu menilai keberhargaan diri sendiri dan orang lain. Hal ini bernakma bahwa individu dapat diberi peringkat yang berimplikasi bahwa pada asumsi bebera orang lebih buruk atau tidak berharga dari yang lain (Wallen, 1992).
Selanjutnya, Ellis membagi fikiran individu dalam tiga tingkatan. yaitu:
a.       Dingin (Cool), Pikiran dingin adalah pikiran yang bersifat deskriptif sendiri dan mengandung sedikit emosi.
b.      Pikiran yang hangat (Warm), adalah pikiran yang mengarah pada satu preferensi atau keyakinan rasional, pikiran ini mengandung unsure evaluasi yang mempengaruhi pembentukan perasaan.
c.        Pikiran yang mengandung unsur evaluasi yang tinggi dan penuh dengan perasaan
(Nelson-Jones, 1995).

C.    Tingkah Asumsi Laku Bermasalah
Dalam gantina dkk, Nelson Jones, 1995 mengatakan manusia dipandang memiliki tiga tujuan fundamental, yaitu: Untuk bertahan hidup, untuk bebas dari kesakitan, dan untuk mencapai kepuasan. Rasional Emotive behaviore Therapy (REBT) juga berpendapat bahwa individu adalah hidonistik yaitu kesenangan dan bertahan hidup adalah tujuan pertama hidup. Hedonisme dapat diartikan sebagai pencarian kenikmatan dan menghindari kesakitan. Bentuk hedonisme khusus yang membutuhkan perhatian adalah penghindaran terhadap kesakitan dan ketidaknyamanan. Dalam Gantina dkk, Wallen mengatakan Dalam REBT hal ini menghasilkan low frustration tolerance (LFT). Individu yang memiliki LFT terrlihat dari pernyataan-pernyataannya verbal seperti: Ini terlalu berat, saya pasti tidak mampu, ini menakutkan, saya tidak bisa menjalani ini.
            Dalam Gantina dkk, Gladding, 1992 mengatakan Ellis mengidentifikasi sebelah keyakinan irasional individu yang dapat mengakibatkan masalah yaitu:
1.      Dicintai dan setujui oleh orang lain adalah sesuatu yang sangat esensial
2.       untuk menjadi orang yang berharga individu harus kompeten dan mencapai setiap usahanya.
3.       Orang yang tidak bermoral, criminal dan nakal merupakan pihak yang harus disalahkan.
4.      hal yang sangat buruk dan menyebalkan adalah bila sebagala sesuatu tidak terjadi seperti yang saya harapkan.
5.      ketidak bahagiaan merupakan hasil dari pristiwa eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh diri sendiri.
6.      sesuatu yang membahayakan harus menjadi perhatian dan harus selalu diingat dalam fikiran.
7.      lari dari kesulitan dan tanggung jawab dari pada menghadapinya.
8.      seseoramg harus memiliki orang lain sebagai tempat bergantung dan harus memiliki seseorang yang lebih kuat yang dapat menjadi tempat bersandar.
9.       masa lalu menentukan tingkah laku saat ini dan tidak bisa diubah.
10.  individu bertanggaung jawab atas masalah dan kesulitan yang dialami oleh orang lain.
11.  selalu ada jawaban yang benar untuk setiap masaslah. Dengan demikian, kegagalan mendapatkan jawaban yang benar merupakan bencana.[4]
Sebagai contoh, “orang depresi merasa sedih dan ke­sepian karena dia keliru berpikir bahwa dirinya tidak pantas dan merasa tersingkir”. Padahal, penampilan orang depresi sama saja dengan orang yang tidak mengalami depresi. Jadi, Tugas seorang terapis bukanlah menyerang perasaan sedih dan kesepian yang dialami orang depresi, melainkan me­nyerang keyakinan mereka yang negatif terhadap diri sendiri.
Walaupun tidak terlalu penting bagi seorang terapis mengetahui titik utama keyakinan-keyakinan irasional tadi, namun dia harus mengerti bahwa keyakinan tersebut adalah hasil “pengondisian filosofis”, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang muncul secara otomatis, persis seperti kebiasaan kita yang langsung mengangkat dan menjawab telepon setelah mendengarnya berdering.
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah, didalamnya merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.
Adapun ciri-ciri berpikir irasional adalah :
a.       Tidak dapat dibuktikan
b.      Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu
c.       Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional disebabkan oleh:
1)      Individu tidak berpikir jelas tentang saat ini dan yang akan datang, antara kenyatan dan imajinasi
2)      Individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain
3)      Orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator sebab keyakinan irasional adalah:
a)      Manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan
b)      Banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum
c)      Kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya
d)     Lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk menghadapi dan menanganinya
e)      Penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut
f)       Pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang
g)      Untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural\
h)      Nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
Menurut Albert Ellis juga menambahkan bahwa secara biologis manusia memang “diprogram” untuk selalu menanggapi “pengondisian-pengondisian” semacam ini. Keyakinan-keyakinan irasional tadi biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan absolut. Ada beberapa jenis “pikiran­-pikiran yang keliru” yang biasanya diterapkan orang, di antaranya:
1.      Mengabaikan hal-hal yang positif,
2.      Terpaku pada yang negatif,
3.      Terlalu cepat menggeneralisasi.

Secara ringkas, Ellis mengatakan bahwa ada tiga ke­yakinan irasional:
1.      “Saya harus punya kemampuan sempurna, atau saya akan jadi orang yang tidak berguna”
2.      “Orang lain harus memahami dan mempertimbang­kan saya, atau mereka akan menderita”
3.      Kenyataan harus memberi kebahagiaan pada saya, atau saya akan binasa”.

D.    Teknik Konseling
Pendekatan konseling rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:
Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
a. Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
b. Bermain peran            
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
c. Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
E.     Corak Konseling REBT
                  Corak konseling RET berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi bersifat psikologis, yaitu:
1.      Manusia adalah makhluk yang manusiawi, artinya dia bukan superman dan juga bukan makhluk yang kurang dari seorang manusia. Manusia memunyai kekurangan dan keterbatasan, yang dapat mereka atasi sampai taraf tertentu. Selama manusia hidup di dunia ini, dia harus berusaha untuk menikmatinya sebaik mungkin.
2.      Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bekal keturunan atau pembawaan, tetapi sekaligus juga tergantung dari pilihan-pilihan yang dibuat sendiri. Nilai-nilai kehidupan (values) untuk sebagian ditentukan baginya, namun untuk sebagian juga dibentuk sendiri serta dikejar sendiri. Salah satu nilai kehidupan adalah kebahagiaan, yang dapat dipilih atau tidak dipilih sendiri sebagai tujuan utama yang pantas dikejar. Tujuan utama ini terwujud dalam berbagai bidang kehidupan, seperti merasa bahagia dengan dirinya sendiri, merasa bahagia dalam berinteraksi dengan orang lain, merasa bahagia dalam kemandirian ekonomis, dan merasa bahagia dalam menikmati berbagai kegiatan rekreaktif.
3.      Hidup secara rasional berarti berfikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa sehingga kebahagiaan hidup dapat dicapai secara efisien dan efektif. Bilamana orang berfikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga segala tujuan yang dikejar tidak tercapai, mereka ini hidup secara tidak rasional. Dengan demikian, berfikir rasional menunjuk pada akal sehat, sehingga sungguh-sungguh membantu mencapai kebahagiaan di hidup ini. Orang yang tidak mencapai kebahagiaan itu harus mempersalahkan dirinya sendiri karena tidak menggunakan akal sehatnya secara semestinya; tidak pantaslah mereka lalu mempersalahkan orang lain atau nasib hidup malang sebagai biang keladi ketidakbahagiaan mereka.
4.      Menusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara rasional dan sekaligus untuk hidup secara tidak rasional. Dia dapat berfikir dengan akal sehat, tetapi juga dapat berfikir salah dan demikian menimbulkan kesukaran bagi dirinya sendiri. Kesukaran ini menggejala dalam alam perasaannya dan dalam caranya bertindak, tetapi pada dasarnya bersumber pada berfikir yang keliru atau berfikir yang disebut berfikir yang tidak rasional (irrasional thinking, illogical thinking).
5.      Orang kerap berpegang pada setumpuk keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal atau irrasional (irrasional biliefs), yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau diciptakan sendiri. Mungkin juga keyakinan-keyakinan itu merupakan gabungan dari pengaruh lingkungan social dan gagasannya sendiri. Tumpukan keyakinan irrasional cenderung untuk bertahan lama, bahkan orang cenderung memperkuatnya sendiri dengan berbagai dalih.
6.      Pikiran-pikiran manusia biasanya menggunakan berbagai lambang verbal dan dituangkan dalam bentuk bahasa. Bila berfikir, manusia seolah-olah mengucapkan kata-kata kepada diri sendiri. Orang memertahankan pikiran yang rasional atau yang tidak rasional dengan berbicara kepada diri sendiri dan mengucapkan dalam batinnya sendiri uraian kalimat tertentu, seperti yang dirumuskan dalam butir (5).
7.      Bilamana seorang merasa tidak bahagia dan mengalami berbagai gejolak perasaan yang tidak menyenangkan serta membunuh semangat hidup, rasa-rasa itu bukan berpangkal pada rentetan kejadian dan pengalaman kemalangan yang telah berlangsung (activating event; activating experience), melainkan pada tanggapannya yang tidak rasional terhadap kejadian dan pengalaman itu (irrational beliefs). Tanggapan kognitif yang tidak masuk akal itu biasanya terdiri atas beraneka tuntutan mutlak, perintah keras kepada diri sendiri dan berbagai keharusan. Perasaan negative yang muncul sebagai akibat dari pikiran irrasional itu, dipandang sebagai suatu reaksi perasaan yang tidak wajar (inappropriate emotions), yang biasanya terdiri atas rasa depresif, rasa cemas dan gelisah yang mendalam, rasa putus asa, rasa bermusuhan, dan rasa tak punya harga diri. Perasaan yang demikian akan dapat menghambat orang dalam mengahadapi tantangan/bantingan hidup dan membunuh semangat berusaha, bahkan sering membuat keadaan orang lebih buruk. Sebaliknyalah tanggapan rasional (rational belief) disertai suatu reaksi perasaan yang wajar (appropriate feelings). Tanggapan yang masuk akal biasanya terdiri atas berbagai keinginan, aneka harapan, dan bermacam preferesi, sedangkan reaksi perasaan yang wajar meliputi perasaan positif seperti rasa cinta, rasa bahagia, rasa tenteram, dan rasa puas; serta perasaan negative seperti rasa sedih, rasa kesal, rasa kecewa, rasa bosan, rasa tidak suka, dan rasa marah. Semua reaksi perasaan itu, baik yang positif maupun yang neagtif, disebut wajar karena menimbulkan semangat untuk berusaha mengubah hal-hal yang tidak diinginkan dan mengganggu kebahagiaan hidup.
8.      Untuk membant orang mencapai taraf kebahagiaan hidup yang lebih baik dengan hidup secara lebih rasional, RET memfokuskan perhatiannya pada perubahan pikiran irasional menjadi rasional. Maka pada dasarnya, konselor yang menerapkan corak konseling ini mengusahakan rehabilitasi kognitif (cognitive restructuring). Untuk itu, tidak perlu konselor menggali seluruh sejarah kehidupan konseli, bahkan juga tidak mengorek keseluruhan asal-usul permasalahan yang dihadapi sekarang dengan membongkar masa lampau.
9.      Mengubah diri dalam berfikir irrasional bukan perkara yang mudah, karena orang memiliki kecenderungan untuk memertahankan keyakinan-keyakinan yang sebenarnya tidak masuk akal, ditambah dengan perasaan cemas tentang ketidakmampuannya mengubah tingkah lakunya dan akan kehilangan berbagai keuntungan yang diperoleh dari perilakunya. Misalnya, seorang mahasiswa yang mengeluh kemana-mana bahwa dia selalu gugup dalam menempuh ujian, mungkin saja memertahankan keluhannya dengan meyakinkan diri terus menerus bahwa “Aku memang paling bodoh di antara teman-teman; seharusnya aku pandai”. Hal demikian harus mendapatkan motivasi dari orang-orang yang ada di sekitarnya untuk menghilangkan perasaan cemas tersebut. Meskipun perubahan pada diri sendiri tidak mudah, patut diusahakan dengan menyerang kekacauannya dalam berfikir dan melatih diri untuk mewujudkan landasan pikiran yang lebih sehat dalam tingkah laku yang konkrit.
10.  Konselor RET harus berusaha membantu orang menaruh perhatian wajar pada kebahagiaan batinnya sendiri, menerima tanggung jawab atas pengaturan hidupnya sendiri tanpa menuntut secara mutlak dukungan dari orang lain; memberikan hak kepada orang lain untuk berbuat salah tanpa menjatuhkan neraka atas mereka sebagai manusia; menerima kenyataan, bahwa banyak hal dalam kehidupannya tidak dapat diramalkan secara pasti; berfikir objektif tentang diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain; berani mengambil resiko yang wajar dan mencoba hal-hal yang baru; menerima diri sendiri dan merasa puas dengan diri sendiri sehingga dapat menikmati hidup; dan mengakui bahwa mustahillah tidak pernah mengalami rasa frustasi, rasa sedih, rasa kesal, dan sebagainya.
11.  Konselor harus membantu konseli mengbah pikirannya yang irasional dengan mendiskusikannya secara terbuka dan terus terang (Dispute). Dalam kaitan ini konselor mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang, mengajarkan tata cara berfikir yang lain, memperolok-olok pikiran yang bodoh, memberikan contoh-contoh tentang orang lain, menyuruh membayang-bayangkan, dan sebagaimana yang ternyata efektif bagi konseli tertentu.
12.  Diskusi itu akan menghasilkan efek-efek (effects), yaitu pikiran-pikiran yang lebih rasional (cognitive effects), perasaan-perasaan yang lebih wajar (emotional effects), dan berperilaku yang lebih tepat dan lebih sesuai (behavioral effects). Misalnya, mahasiswa dalam butir (9) akan berfikir: “Siapa bilang, bahwa aku orang yang apling bodoh? Kegagalan sampai sekarang tidak berarti studiku sudah hancur! Aku tidak perlu mencapai taraf prestasi segemilang beberapa teman. Aku dapat mencapai hasil sesuai dengan kamampuanku, asal aku berusaha dengan sungguh-sungguh!”
Dalam melayani konseli, konselor berpegang pada urutan A-B-C-D-E. A adalah kejadian atau pengalaman teretntu (Activating Event; Activating Experience), yang ditanggapi oleh subjek dalam bentuk suatu interpretasi terhadap A atau suatu keyakinan tentang B (Belief) yang dapat rasional atau irrasional. Reaksi emosional dan perilaku C (Consequences) merupakan akibat dari interpretasi atau keyakinan kognitif , yang dapat berupa reaksi perasaan yang wajar atau tidak wajar dan perilaku yang sesuai atau jelas tidak sesuai. Masalah klien timbul karena keyakinan-keyakinan yang irrasional, yang pada gilirannya menimbulkan reaksi perasaan yang tidak wajar dan tingkah laku yang salah suai. Dalam urutan A-B-C ini, A bukan sebab dari C, melainkan B terhadap A menjadi sebab timbulnya C. kalau B adalah irasional dan tidak masuk akal, akibatnya C akan tidak wajar dan salah suai; kalau B adalah rasional dan masuk akal, akibatnya C akan wajar dan sesuai. Maka, bila ternyata bahwa konseli berpegang pada B yang irrasional, konselor kemudian akan melangkah ke D (Dispute) untuk menumbuhkan efek-efek yang diharapkan pada akhir proses konseling, yaitu E (Effects). Dengan demikian terdapat rangkaian A-B-C-D-E. sebagai contoh:
A:  Seorang mahasiswa menerima surat dari seorang gadis, yang dianggapnya sebagai pacar, cintanya yang pertama. Surat itu berisikan pesan “hubungan kita sampai di sini saja”.
B: Mahasiswa menginterpretasikan kejadian ini sebagai malapetaka besar dan            berkata kepada diri sendiri: “Aku seharusnya mendapat tanggapan yang positif. Kamu seharusnya tidak menolak saya. Ini musibah paling besar bagiku. Rasa harga diriku diinjak-injak. Usahaku gagal total dank arena itu akulah pemuda yang brengsek! Apakah masih ada arti dalam hidupku? Kenapa masih memertahankan hidupku di dunia ini?”. Pikiran-pikiran semacam itu bercorak irasional dan tidak masuk akal.
       (Corak berfikir yang lain ialah: “Ini tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia memutuskan hubungan. Sebenarnya lebih baik dia memberikan penjelasan. Tetapi, buat, kelihatannya sudah mantap pada keputusannya”. Berpikir seperti itu ternyata lebih rasional).
C : Sebagai akibat dari pikiran irasional di atas, mahasiswa itu merasa putus asa serta depresif dan tidak bersemangat hidup lagi. Reaksi emosional ini menggejala dalam berbagai ungkapan ketegangan, misalnya sukar tidur, kehilangan nafsu makan, dan marah-marh pada teman-teman. Lalu dia tidak masuk kuliah 2 minggu dan mengirimkan surat kepada penasiht akademik untuk minta izin karena sakit.
      (Rasa emosional yang lain ialah ras kecewa, rasa frustasi, dan tidak suka akan perlakuan yang demikian. Dia kemudian mengirimkan surat kepada pemudi itu untuk minta penjelasan tentang hubungan akrab yang diputuskan. Namun, sementara itu dia tetap melakukan kewajibannya sebagai mahasiswa. Kalau begitu, mahasiswa tidak perlu menghadap konselor!).
D :Konselor menjelaskan kepada mahasiswa, bahwa perasaannya yang serba putus asa adalah akibat dari caranya menanggapi kejadian penerimaan surat putus hubungan; juga dijelaskan, bahwa aneka gejala gangguan perasaan adalah akibat dari pikirannya yang tidak masuk akal, dan bahwa pengiriman surat minta izin bukan cara penyelesaian masalah yang efektif. Kemudian konselor mulai menantang segala pikiran irasional pada B di atas, misalnya dengan bertanya: “Siapa bilang bahwa kamu seharusnya tidak ditolak? Apakah surat itu bermakna manjatuhkan Anda dalam lembah kenistaan? Apakah seorang pemuda yang tidak berhasil dalam cintanya yang pertama harus diangap sudah brengsek?”, dan sebagainya. Konselor jua menjelaskan, bahwa dia dapat mengambul pelajaran dari pengalaman ini, misalnya: “Lain kali jangan menaruh harapan dengan serba cepat. Kegagalan dalam cinta pertama membuat orang lebih matang dalam menghadapi hubungan percintaan dengan orang lain”, dan sebagainya.
E : Konseli berubah dalam caranya menganggapi A, misalnya pada butir B di atas, di antara tanda ( ). Reaksi dalam alam perasannya berubah juga dan dia mengambil tindakn lain, misalnya seperti pada butir C di atas, di antara tanda  ( ).
A                         B                        C

                            D                       E
Tentu saja proses konseling tidak mulai pada A, tetapi pada suatu saat setelah A-B-C telah terjadi dan mahasiswa itu menyadari dia tidak mampu menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan seorang konselor. Selama proses konseling A-B-C akan menjadi jelas dan konselor menangkap hubungan antara A-B-C. Kemudian konselor menjelaskan peranan dari B yang irasional dan mulai menantangnya untuk mencapai efek E. Namun, konselor biasanya tidak membiarkan konseli untuk mengutarakan kejadian atau pengalaman (A) dengan panjang lebar dan secara mendetail; hanya secukupnya supaya menjadi jelas terhadap hal apa diberikan tanggapan kognitif (B). Demikian pula, tidak dianggap berguna ungkapan perasaan seperti putus asa, depresif, tidak bersemangat, dan bermusuhan diperpanjang, karena yang jauh lebih penting adalah berbagai keyakinan irasional yang melandasi ungkapan perasaan itu. Konselor menunjukkan sikap penerimaan, pemahaman, dan penghargaan sejauh diperlukan untuk menciptakan suasana komunikasi antarpribadi tidak dianggap sebagai satu-satunya kondisi yang mencukupi bagi keberhasilan konseling, seperti pada Client Centered Counseling. Untuk melengkapi diskusi tentang rangkaian keyakinan irasional yang harus diubah, konselor sering memberikan suati tugas Pekerjaan Rumah (Homework), seperti melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya yang tidak masuk akal; membayangkan reaksi perasaan yang wajar untuk melawan yang tidak wajar (Rational Emotive Imagery); dan mengisi format yang disebut Rational Self Help Form yang diterbitkan oleh The Institute for Rational-Emotive Therapy di New York City.
RET menunjukkan baik kelebihan maupun kelemahan. Kelebihannya ialah tekanannya pada peranan berbagai tanggapan kognitif terhadap timbulnya suatu reaksi perasaan. Kelemahannya adalah kurangnya pengakuan terhadap perasaan nada dasar (stemming) sebagai suatu faktor yang sangat dominan dalam kehidupan manusia, yang tidak sebegitu mudah mengalami perubahan. Meskipun demikian, corak konseling ini sangat bermanfaat untuk diterapkan oleh konselor sekolah terhadap siswa remaja dan mahasiswa, yang mengalami reaksi-reaksi perasaan negative yang kuat dan agak mewarnai suasana hati, seperti rasa cemas, rasa gelisah, rasa putus asa, tidak bergairah, dan tidak bersemangat. Konselor menduga bahwa ungkapan perasaan itu berkaitan dengan suatu pengalaman hidup, yang diberi interpretasi negative berdasarkan cara berfikir yang kurang “sehat” dan/atau kurang masuk akal.
Suatu sistematika lain yang juga mengusahakan rehabilitas kognitif (cognitive restructuring) dikembangkan oleh Meichenbaum, yang terpusat pada pesan-pesan negative yang disampaikan oleh orang kepada diri sendiri dan cenderung melumpuhkan kreativitasnya serta menghambat dalam mengambil tindakan penyesuaian diri yang realitas. Menurut pandangan Meichenbaum orang mendengarkan diri sendiri dan berbicara kepada diri sendiri, yang bersama-sama menciptakan suatu dialog internal (internal dialogue) dan berkisar pada mendengarkan pesan negative dari diri sendiri dan menyampaikan pesan negative terhadap diri sendiri. Dialog internal yang berisikan penilaian negative terhadap diri sendiri akan membuat orang lain akan merasa gelisah dalam mengahadapi tantangan hidup dan kurang mampu mengambil tindakan penyesuaian diri yang tepat. Maka perlulah mengubah penilaian diri yang negative itu menjadi yang lebih positif sehingga keyakinan akan diri sendiri menguat dan kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi konkrit bertambah.
Siasat yang digunakan oleh konselor pada dasarnya sama dengan yang diterapkan dalam RET, yaitu mengkaji ulang pola berfikir yang bercorak negative dan menghasilkan tindakan penyesuaian diri yang kurang tepat. Hanyalah Albert Ellis lebih memerhatikan pikiran irasional yang dapat berisikan lebih luas daripada pikiran tentang diri sendiri, sedangkan Meichenbaum lebih menitikberatkan evaluasi diri yang bercorak negative. Namun, dalam praktek konseling di institusi pendidikan dapat dijumpai kasus corak berfikir negative terhadap diri sendiri yang sebenarnya bersifat irasional (tidak masuk akal sehat); dalam kasus seperti itu penerapan pendekatan RET mencakup pula rehabilitas kognitif terhadap corak berfikir tentang diri sendiri yang melumpuhkan semangat hidup.




















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendekatan Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) adalah pendekatan behavior kognitif yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku dan pikiran. pendekatan  Rational-Emotive Behavior Therapy (REBT) di kembangkan oleh Albert Ellis melalui beberapa tahapan. pandangan dasar pendekatan ini tentang manusia adalah bahwa individu memiliki tendensi untuk berpikir irasional yang salah satunya didapat melalui belajar social. Di samping itu, individu juga memiliki kapasitas untuk belajar kembali untuk berpikir rasional. pendekatan ini bertujuan untuk mengajak individu mengubah pikiran-pikiran irasionalnya ke pikiran yang rasional melalui teori ABCDE.

B.     Saran
Pemakalah menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk pemakalah guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa pemakalah mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah









DAFTAR PUSTAKA


Amirah Diniaty (2009),  Teori-Teori Konseling, Pekanbaru:  Daulat Riau.
Gantina komalasari, Dkk. (2011). Teori Teknik Konseling, Jakarta: Indeks.
Gerald Corey  (2009), Teori dan Praktek Konseling & Terapi, Bandung: Refika Aditama
Muhammad Surya (1994), Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, Bandung: Bhakti Winaya
Muhammad Surya (2003), Teori-Teori Konseling, Bandung: C.V Pustaka Bani Quraisy.
.Winkel, W. S. 1997. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Grasindo

Lainnya:
http://boharudin.blogspot.com/2011/04/rational-emotive-behavior-therapy.html diakes pada tanggal 6 Maret 2012














[1] Amirah Diniaty (2009), Teori-teori Konseling, Pekanbaru: Daulat Riau hal 67.
[2] Gerald Corey (2009), Teori dan Praktek Konseling & Terapi, Bandung: Refika Aditama hal. 242
[3]  Surya, Mohammad (1994). Dasar-dasar Konseling Pendidikan (Konsep dan Teori). Bandung: Bhakti Winaya Hal: 161
[4] Dra. Gantina Komalasari, dkk (2011), Teori dan Teknik Konseling, Jakarta: Indeks hal. 204-205

1 komentar: